KOMPOS, Purbalingga | Diskusi dan Press Tour 2025 bertema “Jurnalis Mencerahkan, Bukan Meresahkan” yang digelar Pemerintah Kabupaten Purbalingga di Andrawina Hall Hotel Owabong, Jumat (19/12/2025), justru mempertontonkan kegagalan serius dunia pers membaca persoalan dirinya sendiri. Forum yang diklaim sebagai ajang penguatan profesionalisme berubah menjadi perdebatan kasar tentang status, sertifikasi, dan klaim keabsahan profesi wartawan.

Agenda yang masuk dalam rangkaian Hari Jadi ke-195 Kabupaten Purbalingga itu awalnya dimaksudkan sebagai ruang dialog antara pemerintah daerah dan media. Namun sejak isu Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan sertifikasi diangkat, diskusi bergeser tajam menjadi pertarungan simbolik antarwartawan yang saling mempertanyakan legitimasi satu sama lain.

Mewakili Bupati Purbalingga, Asisten Administrasi Umum Sekda Purbalingga Siswanto menyampaikan bahwa pers adalah mitra strategis pemerintah daerah dalam menyampaikan informasi publik. Ia menekankan pentingnya pemberitaan yang objektif, berimbang, serta kritik konstruktif demi mendukung pembangunan daerah.

Namun pesan tersebut nyaris tak berbekas. Forum justru tersedot ke dalam konflik internal pers yang menyingkirkan substansi awal diskusi. Alih-alih membahas kualitas informasi publik, peserta terjebak dalam perdebatan soal siapa yang pantas disebut profesional.

Situasi memanas ketika Ketua PWI Jawa Tengah Setiawan Hendra Kelana menegaskan pentingnya sertifikasi dan UKW sebagai instrumen penjaga mutu dan marwah profesi wartawan. Pernyataan itu segera memantik reaksi keras dari sejumlah peserta yang menilai sertifikasi telah berubah fungsi menjadi alat klaim status.

Sejumlah wartawan secara terbuka menolak anggapan bahwa sertifikat merupakan ukuran tunggal profesionalisme. Mereka menilai pengalaman lapangan, integritas, dan kepatuhan terhadap etika jurnalistik jauh lebih relevan dibanding formalitas administratif yang tidak selalu mencerminkan kualitas kerja.

Dalam diskusi tersebut juga ditegaskan bahwa Dewan Pers tidak mewajibkan wartawan mengikuti UKW. Fakta ini menjadi titik tekan yang memperuncing perdebatan dan memperlihatkan betapa rapuhnya konsensus di tubuh pers sendiri.

Pembahasan kemudian melebar ke aspek hukum pemberitaan. Kanit I Tipidum Satreskrim Polres Purbalingga Iptu Uki Ishianto mengulas potensi delik pers, sementara Analis Hukum Setda Purbalingga Eri Singgih Astuti menekankan pentingnya pemahaman regulasi keterbukaan informasi publik agar kebebasan pers tidak berujung pelanggaran hukum.

Sementara itu, perwakilan Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Purbalingga, Bastian Nurleo, menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan menata ekosistem pers dan menekan praktik intimidasi, pemerasan, serta penyimpangan yang mengatasnamakan profesi wartawan.

Namun jalannya forum justru meninggalkan ironi paling telanjang. Di ruang yang seharusnya membahas pencerahan publik, pers malah sibuk berkelahi soal simbol legitimasi. Sertifikasi diperdebatkan, profesionalisme dipolitisasi, dan publik kembali ditempatkan sebagai penonton dari konflik elit profesi.

Diskusi itu berakhir tanpa kesimpulan yang menyatukan. Yang tersisa hanya satu fakta pahit: krisis dunia pers bukan semata soal tekanan eksternal, melainkan kegagalan internal membangun standar yang adil, jujur, dan berpihak pada kepentingan publik.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *