Semarang, 1 Oktober 2025, kompos.web.id – Polemik sengketa lelang kembali mencuat dengan ancaman eksekusi sertifikat rumah yang dialami seorang warga bernama RDY. Kasus ini bermula dari kerjasama usaha antara RDY dengan seorang investor berinisial SMT, yang menginvestasikan dana sebesar Rp 500.000.000,- dengan perjanjian pembagian keuntungan sebesar 10% setiap bulan.

Awalnya, kerjasama berjalan sesuai rencana, dan pembayaran bagi hasil dilakukan tepat waktu. Namun, seiring waktu, pembayaran tersebut mengalami kendala hingga akhirnya terhenti.

Dalam situasi tersebut, SMT meminta sertifikat rumah RDY sebagai jaminan. Masalah semakin rumit ketika SMT mencoba mengeksekusi jaminan tersebut secara sepihak, berdalih adanya perjanjian antara dirinya dan RDY, tanpa melibatkan proses peradilan.

Dalam wawancara dengan media, Advokat Sugiyono, S.E., S.H., M.H., yang mewakili RDY, menyatakan bahwa tindakan eksekusi tersebut tidak sah dan melanggar hukum.

“Eksekusi terhadap jaminan, terutama yang berkaitan dengan hak atas tanah dan rumah, hanya bisa dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau melalui mekanisme parate eksekusi yang sesuai dengan undang-undang, bukan berdasarkan perjanjian pribadi yang tidak memiliki kekuatan hukum jaminan utang,” tegas Sugiyono.

Landasan Hukum dan Argumen

1. Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa seluruh aset debitur menjadi jaminan bagi kewajibannya terhadap kreditur, tetapi pelaksanaan eksekusi harus melalui prosedur hukum yang benar.
2. Pasal 224 Hukum Acara Perdata (HIR) menegaskan bahwa eksekusi hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan bahwa eksekusi hak atas tanah hanya sah jika melalui titel eksekutorial yang melekat pada sertifikat hak tanggungan. Dalam kasus ini, tidak ada akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
4. Perjanjian jaminan di luar mekanisme resmi tidak dapat serta merta menjadi dasar eksekusi, melainkan hanya sebatas perjanjian perdata yang dapat dituntut melalui gugatan di pengadilan.

“Jika SMT merasa dirugikan akibat macetnya pembayaran bagi hasil, cara yang tepat adalah mengajukan gugatan perdata, bukan melakukan eksekusi sepihak. Tindakan pemaksaan seperti ini dapat kami kategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,” tambah Sugiyono.

RDY, melalui kuasa hukumnya, akan melawan segala bentuk eksekusi yang tidak sesuai dengan hukum dan akan menempuh jalur pengadilan untuk mempertahankan hak atas sertifikat rumahnya.

“Sebagai penegak hukum dan keadilan, kami menegaskan bahwa hukum tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memaksakan kehendak sepihak. Eksekusi hanya sah jika diperintahkan oleh pengadilan,” tutup Sugiyono.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *