Iklan

terkini

Sejarah Cilacap: Dari Masa Majapahit Hingga Masa Kini

Minggu, 27 Oktober 2024, Oktober 27, 2024 WIB Last Updated 2024-10-27T12:22:28Z

Sejarah Cilacap adalah kisah panjang tentang perkembangan sebuah daerah di Jawa Tengah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Cilacap. Cilacap telah menjadi bagian dari pemerintahan lokal sejak masa Kerajaan Majapahit dengan penguasa terkenal seperti Ki Gede Ayah dan Ki Ageng Donan. Kabupaten ini akhirnya berdiri setelah penggabungan antara Regentschap Dayeuhluhur dan Distrik Adiraja yang menjadi Onder Regentschap Cilacap. Sejak tanggal 22 Agustus 1831, wilayah ini menjadi bagian dari Keresidenan Banyumas, dengan seorang residen bernama G.De. Seriere yang ditunjuk untuk mendampingi para bupati, sekaligus menetapkan Raden Tumenggung Tjakranegara III sebagai Bupati pertama.

Asal-Usul Nama Cilacap

Nama "Cilacap" konon berasal dari kata "Cacab" atau "Tlacap" yang memiliki hubungan dengan mata bajak, bukan dari gabungan kata "Ci" dan "Lacap" seperti yang mungkin sering disalahartikan. Pada akhir abad ke-14, sebuah rombongan yang dipimpin oleh Raden Bei Tjakrawedana, putra dari Tumenggung Tjakrawedana I, datang untuk membuka lahan di daerah selatan. Mereka berhenti di ujung lekukan pantai yang menyerupai mata bajak atau dalam bahasa Jawa disebut wluku, sehingga daerah tersebut disebut "Cacab" atau "Tlacap" yang kemudian berkembang menjadi "Cilacap".

Cerita Toponimi dari Sumber Belanda

Menurut catatan De Wolff van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto (1896–1900), banyak terjadi kesalahpahaman dalam penulisan Cilacap yang dikira berasal dari bahasa Sunda. Namun, dalam catatan tanah kerajaan, kata "Tlacap" digunakan pada motif kain batik dan sarung serta menunjukkan titik tertentu pada desain payung kerajaan. Kata "lacap" sendiri mengacu pada bentuk tanah yang lancip atau menjorok ke laut, mirip dengan istilah "congot" dalam bahasa Jawa.

Pengaruh Kerajaan Majapahit

Awal mula sejarah Kabupaten Cilacap dimulai sejak zaman Mataram Kuno hingga era Kerajaan Surakarta. Pada akhir masa Kerajaan Majapahit (1294–1478), wilayah yang kini menjadi Cilacap terbagi menjadi beberapa area kekuasaan, yaitu Kerajaan Majapahit, Kadipaten Pasir Luhur, dan Kerajaan Pajajaran. Wilayah ini membentang luas, di mana beberapa daerah berada di bawah kekuasaan tokoh-tokoh penting seperti Ki Gede Ayah dan Ki Ageng Donan di bawah Majapahit, serta Kerajaan Nusakambangan dan Pajajaran di bagian barat.

Ketika Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh pada tahun 1579 setelah diserang oleh kerajaan Cirebon dan Banten, sebagian wilayah barat termasuk ke dalam kekuasaan Cirebon yang merupakan vasal dari Demak. Bagian timur dari wilayah tersebut kemudian berada di bawah Kesultanan Pajang yang merupakan kelanjutan dari Kesultanan Demak, sehingga wilayah ini terbagi dalam dua kekuasaan besar.



Perkembangan di Masa Mataram Islam

Pada tahun 1587, Kesultanan Pajang digantikan oleh Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah Kesultanan Pajang akhirnya berada dalam kendali Mataram. Bahkan pada 1595, Mataram Islam mulai melakukan ekspansi ke Galuh yang menjadi vasal Cirebon. Ini membuat wilayah Cilacap di bagian timur diambil alih oleh Mataram Islam.

Catatan harian Kompeni Belanda yang tertulis pada 21 Februari 1682 menjelaskan adanya perjalanan darat dari Citarum di utara Karawang hingga ke Bagelen. Jalur ini melewati beberapa daerah yang sekarang termasuk dalam wilayah Cilacap, seperti Dayeuhluhur dan Limbangan, yang pada saat itu merupakan area penting dalam perkembangan wilayah ini.

Mataram Kuno dan Prasasti Penting

Sejarah Cilacap bahkan bisa dilacak lebih jauh lagi ke masa Mataram Kuno. Berdasarkan Prasasti Salingsingan yang ditulis pada 2 Mei 880 Masehi, wilayah Handaunan (sekarang Donan) sudah ada dan dikenal. Prasasti ini mencatat raja Mataram, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, yang memerintah sekitar tahun 856–882 M.

Beberapa prasasti dari era Mataram Kuno lainnya juga menyebut nama-nama desa di sepanjang aliran Sungai Serayu. Nama-nama desa tersebut termasuk Gulung (kini Mengulung), Jati (di Kecamatan Binangun), dan Manghujung (kini Ujungmanik). Selain itu, ada juga desa Sunda (Surusunda), yang semuanya merupakan wilayah-wilayah di sekitar Cilacap saat ini.

Perjanjian Kartasura dan Pengaruh VOC

Pada tanggal 5 Oktober 1705, Perjanjian Kartasura antara Kesultanan Mataram dan VOC menandai awal pengaruh Belanda di wilayah ini. Perjanjian tersebut memindahkan batas timur VOC dari Karawang ke Sungai Losari di utara dan Sungai Donan di selatan, sehingga memperluas pengaruh Belanda di sekitar Cilacap. Dengan berjalannya waktu, wilayah yang termasuk dalam cikal bakal Kabupaten Cilacap akhirnya menjadi salah satu daerah administratif dalam pengawasan VOC.

Pendirian Kabupaten Cilacap

Pada tahun 1831, Kabupaten Cilacap resmi berdiri dengan penggabungan dua wilayah penting yaitu Regentschap Dayeuhluhur dan Distrik Adiraja. Kedua daerah ini membentuk Onder Regentschap Cilacap, yang menjadi bagian dari Keresidenan Banyumas. Raden Tumenggung Tjakranegara III diangkat sebagai Bupati pertama, sementara Kadipaten Dayeuhluhur dihapuskan. Dengan penggabungan ini, Cilacap secara administratif terbuka luas bagi pendatang.

Percampuran Budaya Jawa dan Sunda di Cilacap

Karena letaknya yang berbatasan langsung antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, wilayah Cilacap memiliki percampuran budaya antara suku Jawa dan Sunda, terutama di daerah-daerah seperti Dayehluhur dan Majenang. Percampuran ini tidak hanya terlihat dalam budaya dan tradisi lokal, tetapi juga dalam bahasa dan kebiasaan sehari-hari masyarakatnya.

Warisan Budaya Cilacap

Cilacap memiliki banyak warisan budaya yang berasal dari zaman kuno hingga pengaruh kolonial Belanda. Salah satunya adalah berbagai prasasti yang ditemukan di wilayah ini. Beberapa prasasti penting yang menjadi bukti sejarah Cilacap meliputi:

  • Prasasti Salingsingan (880 M), yang menyebutkan nama desa-desa seperti Handaunan (Donan) dan Gulung (Mengulung).
  • Prasasti Er Hangat (885 M), yang menceritakan tentang kunjungan Raja Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana ke desa-desa seperti Nusawangka dan Nusajati.
  • Prasasti Panunggalan (896 M), yang mencatat kegiatan upacara tertentu di desa Danu, serta menyebut desa Maddhyapura dan desa Air Bulang.
  • Prasasti Pabuharan (900 M), yang menyebut nama desa seperti Hasinan dan Pasir yang menjadi batas wilayah di sekitar Banyumas dan Cilacap.
  • Prasasti Luitan (901 M), yang menjelaskan masalah pajak yang dialami oleh penduduk desa Luitan atau Kapung.

Prasasti-prasasti ini mengisahkan tentang kehidupan sosial, keagamaan, serta tata kelola wilayah yang ada di Cilacap pada masa lalu. Dengan adanya prasasti-prasasti ini, kita dapat memahami bagaimana Cilacap berkembang dari masa ke masa hingga menjadi wilayah yang kita kenal saat ini.

Kesimpulan

Cilacap memiliki sejarah yang panjang dan menarik, mulai dari zaman Mataram Kuno hingga menjadi Kabupaten Cilacap yang resmi pada tahun 1831. Berbagai pengaruh budaya dan politik dari kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Pajajaran, Mataram Islam, dan bahkan VOC Belanda telah meninggalkan jejak mendalam di wilayah ini. Dengan berbagai peninggalan sejarah seperti prasasti dan kisah-kisah rakyat, Cilacap merupakan tempat yang kaya akan warisan budaya yang layak dijaga dan dipelajari.

Sumber: Wikipedia

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sejarah Cilacap: Dari Masa Majapahit Hingga Masa Kini

Terkini

Iklan

Close x